Tuesday, March 21, 2017

#ngupingjakarta

X: Hebat kereta sekarang pelayanannya bagus ya.
Y: Iya lah kan udah beda sekarang mah gak kayak dulu.

*saat mau keluar dari Stasiun Gambir dan papasan sama orang yang baru dateng.

Friday, March 17, 2017

Thursday, March 16, 2017

GMS Semifinal Night at La Piazza




Hai! ini Mona dan Kak Dina. Kak Dina yang rambut pendek, Mona yang rambut panjang. Mereka model super hits yang sekarang sedang meniti karir di Jakarta. Mona lebih serius ke film dan iklan sedangkan Kak Dina lebih ke dunia modeling. Kita satu agency di Surabaya. Tapi gue masih butiran debu hahaha. Dari mereka gue belajar untuk tetap humble. Mereka gak ngedikte secara langsung, tapi sifat rendah hatinya keliatan dari perilaku mereka sehari-hari. Salut lah pokonya sama dua supermodel ini.

Terlepas dari dunia modeling, gue masih melatih diri gue sendiri supaya jangan sombong sama orang. Ya walaupun kadang-kadang kayanya masih suka khilaf ya._. Jangan pernah ngerasa kayak yang udah paling punya segalanya. Inget di atas langit masih ada langit. Bisa aja orang yang sekarang lo remehin, tiga bulan kemudian jadi orang yang paling lo butuhin di dunia. Bisa loh, bisa banget. That's why, keep spreading kindness brosist.

Oh iya foto ini diambil setelah selesai semifinal Gading Model Search. Seneng si bisa kumpul lagi setelah sekian lama gak ketemu dan show bareng. 

Monday, March 13, 2017

You are the people you surround yourself with

Naru : Ra, pernah gak sih kamu ngerasa terlalu aktif atau terlalu banyak keinginan yang harus kamu capai gitu?
Rara : Ambisius maksudnya?
Naru : Ya semacam itu
Rara : Emm pernah sih, tapi itu kayaknya tergantung lingkungan juga deh, Nar. Nih misalnya aku kalo di kelas ngerasa kayak udah yang paling ambi karena temen-temen sekelasku kebanyakan gak suka ikut kegiatan di luar kampus, tapi pas ketemu anak-anak XLFL yang cenderung high-achiever aku malah seperti butiran debu yang prestasinya paling gak ada, organisasinya paling dikit, dll.
---

Percaya gak sih kalo sifat, sikap, keputusan dan bahkan pola pikir kita itu dipengaruhi sama lingkungan sekitar? Gue percaya.

Buat gue, lingkungan sekitar bahkan punya pengaruh yang lebih kuat dari orang tua dan keluarga inti dalam membentuk karakter seseorang. Apalagi kalo idup lo sama kaya gue yang 70% waktunya dihabiskan di luar rumah alias jauh dari keluarga. Mungkin papah sama mamah udah ngerti konsep ini makanya waktu kecil gue dibawa ke lingkungan yang bisa dibilang ritme kehidupannya sudah tertata rapi which is: Soroako.

Di soroako gue satu sekolah dan main-main sama anak expat. Gue yang awalnya cuma ngerti bahasa inggrisnya kuning itu yellow, dalam waktu cuma seminggu udah bisa telfonan ama anak expat dan haha hihi bareng. Gue yang awalnya gak bisa renang dan gak mau nginjekin kaki sedikit pun di danau akhirnya hobi banget renang di danau bahkan sampe tiap hari karena semua anak Soroako pada hobi renang. See? kondisi sekitar pada akhirnya memaksa kita untuk berubah. Yang awalnya nggak bisa jadi bisa. Yang awalnya nggak suka jadi suka. Yang awalnya nggak hobi jadi hobi.

We need to choose our surrounding carefully. Karena beneran deh kalo lo salah pilih, dan lo gak kuat sama pendirian lo sendiri, lo akan kebawa. Ibaratnya kaya flu aja, semisal kita terus-terusan sama orang yang lagi flu, dia bersin-bersin ke arah kita, tissuenya dikasih ke kita, cepat atau lambat bisa dipastikan kita akan kena flu juga.

Lalu harus memilih lingkungan yang seperti apa? Yang mendukung kita untuk terus tumbuh dan berkembang jadi lebih baik dari sebelumnya. Definisi baik bisa beda-beda. Bisa lebih baik dalam karir, lebih sukses dalam kehidupan, pokoknya yang ngedukung niatan baik kita untuk meraih cita-cita dan keinginan dalam hidup #edeh.

Misalnya kalo lo mau serius naikin IPK di kampus, habiskanlah waktu lo bersama orang-orang yang rajin belajar dan yang rajin ngerjain tugas. Kurangi waktu main sama yang tiap kali ujian bisanya nyontek doang, ngandelin jawaban orang lain. Karena semisal temen-temen lo lagi pada belajar bareng nih, masa iya lo mau main PS sendirian?

Terus misalnya lagi kalo lo mau kerjaan yang lebih baik, kurang-kurangin deh tuh waktu lo yang sering lo abisin sama orang yang hobinya izin sakit padahal ngga sakit, yang sering ngeluh dan kerjanya se-sedikit mungkin. Perbanyak bersosialisasi dengan rekan kerja yang cenderung ambisius dalam bekerja, yang ngambil kursus tambahan buat nambah skillnya, yang selalu berusaha untuk membawa hidupnya ke taraf yang lebih baik. Kalo lingkungan lo udah sukses semua, energinya akan transfer ke lo juga nantinya.

Kalo udah terlanjur masuk ke lingkungan yang kurang baik gimana? Perkuat pendirian bung! Kapal jangan sampe oleng. Dekatkan diri ke keluarga dan perbanyak baca buku self improvement atau kegiatan positif yang membangun. Gue percaya kok semakin dewasa kita pasti semakin bisa beradaptasi sama lingkungan.

Memilih lingkungan ini bukan berarti kita harus membatasi diri dan membenci orang-orang yang gak sepaham sama kita lho ya. Berteman boleh sama siapa saja, tapi pilih lah orang-orang yang akan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kehidupan kita dengan bijak. Kalo kata quote-quote di google sih "Keep your circle small and expand your vision."

Monday, February 06, 2017

A night without coffee at a coffee shop


pardon me
test camera

rara - odah - dara
we tell stories and share memories. 
for the first time in 4 years... 
Yea. These beauties are my high school friends. We were pursuing our bachelor degree in the same city (Surabaya) yet we never really hang-out together. Until now. Which is after graduation.

Sunday, January 22, 2017

Book Review: Ayahmu Bulan, Engkau Matahari

Book Cover
Nayu : Hidup ini seperti kecap ya, Yah...?
Ayah : Tidak adakah penggambaran yang lebih baik dari sekadar mengibaratkan hidup ini seperti kecap, Nayu?
Nayu : Aku ingat kecap yang Ayah berikan. Semuanya kecap manis. Kecap nomer satu. Kata Ayah, kedelai membuat cerdas dan kuat.
Kecap by Lily Yulianti Farid is one of several short stories, in the book titled 'Ayahmu Bulan, Engkau Matahari', that successfully made me cried. And I cried in my way to Jakarta from Surabaya by train because this book is my travel-mate.

Attracted by the title and the cover, I bought this book around 6 months ago in coincidence. This book consist of 17 short stories which illustrated women's life struggle very well. From the affairs of wheat flour until the humanitarian mission in Ramallah. Almost all the main characters are women of diverse ages, races, cultures, and religions. they struggle with the search for identity, gender inequality, a love triangle, to the problems of socio-political which often puts women as the objects. Lily Yulianti Farid (the writer) clearly featuring the voices of women in shouting anxiety, anger, and resistance to injustice that often occur wherever they are.


A book worth to read for every women in the world.

Wednesday, January 18, 2017

Absurd 2017

Ketika pagi-pagi mau berangkat naik becak,
Mamang X : (pake logat sunda) hati-hati mba Rara ya, jangan lupa baca doa baca Bismillah
Rara : iyaa
Mamang X : KTP udah bawa KTP? awas banyak begal motor
Bibi X : (nyaut) mana ada begal motor ngambilnya becak-.-
Rara : lah iya kan naik becak? Hahaha